Oleh: Hasanul Rizqa
Gerakan Zionis Internasional (WZO) dirintis pada 1897 oleh aktivis Yahudi kelahiran Austria-Hungaria, Theodor Herzl (1860-1904). Ia dan para pendukungnya menerjemahkan secara politis keyakinan kaum Yahudi bahwa mereka dinubuatkan kembali ke “tanah yang dijanjikan Tuhan”, yakni Bukit Zion alias Baitul Makdis, Palestina. Sebelumnya, visi “kembali ke Bukit Zion” memang ada sejak ratusan tahun lamanya dan diwariskan dari generasi ke generasi orang Yahudi. Melalui WZO, untuk pertama kalinya, hasrat kaum Yahudi untuk memiliki Bukit Zion diwujudkan sebagai sebuah gerakan politik.
Herzl semasa muda aktif sebagai wartawan. Ia pernah mengikuti perkembangan kasus Kapten Alfred Dreyfus (1894-1906), seorang tokoh militer Prancis yang berdarah Yahudi. Dreyfus dihukum penjara seumur hidup atas dakwaan telah membocorkan rahasia negara kepada Jerman.
Kasus tersebut kian mengobarkan sentimen anti-Yahudi (antisemitism) di tengah masyarakat Eropa, khususnya Prancis. Belajar dari itu, Herzl berkeyakinan, orang-orang Yahudi yang hidup terpencar di berbagai kawasan dunia perlu mempunyai sebuah negara sendiri. Dan, negara demikian diimpikannya berpusat di Bukit Zion. Pemikiran itu dituangkannya dalam buku Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi), terbit pertama kali di Austria, pada 1896.
Setahun sesudah itu, kongres WZO digelar di Basel, sebuah kota dekat perbatasan Swiss-Jerman. Lokasi persisnya pertemuan itu adalah gedung kasino milik pemerintah kota setempat. Bayangkan, pelaksanaan kongres yang memperjuangkan kembalinya orang-orang Yahudi ke “tanah yang dijanjikan Tuhan” justru dilakukan di sebuah tempat maksiat. Karena itu, beberapa pengkritik WZO, termasuk dari kalangan Yahudi ortodoks saat ini, menuding Herzl dan kawan-kawan sebagai orang sekuler, alih-alih taat beragama.
Persiapan kongres dilakukan dengan matang dan rapi. Beberapa bulan sebelumnya, Herzl sibuk melobi tokoh-tokoh Yahudi yang berpengaruh di London, Paris, dan lain-lain kota agar mereka bersedia datang sendiri atau mengirimkan wakilnya ke Basel. Hingga akhirnya, kongres tersebut dibuka pada Ahad pagi tanggal 29 Agustus 1897.
Menurut Djoko Susilo dalam artikelnya, “Akar Zionisme” (2004), kongres pertama WZO itu dihadiri antara 200 sampai 250 orang peserta dari 24 negara. Jumlah yang tampak tidak pasti ini disebabkan beberapa delegasi, khususnya yang berasal dari Rusia, meminta agar namanya tidak dicantumkan secara resmi. Dengan perkataan lain, mereka datang secara ilegal.
Beberapa delegasi tidak mau repot-repot dengan pendaftaran karena mungkin tidak menyadari kongres tersebut kelak akan dikenang sejarah. Sebab, lima puluh tahun kemudian cita-cita mendirikan negara Yahudi itu berhasil diwujudkan dengan jalan mengusir dan merampas tanah milik bangsa Palestina.
Kongres yang berlangsung selama tiga hari itu bisa berlangsung mulus karena sejumlah masalah pokok sudah diselesaikan dalam pertemuan pra-kongres yang berlangsung selama dua hari. Dalam pertemuan khusus ini, hadirin menyepakati pembentukan komite pelaksana yang terdiri atas tujuh orang dan diketuai Max Nordau—rekan senegara Herzl. Mereka bertanggung jawab atas lancarnya sidang-sidang yang dilaksanakan.
Bagaimanapun, Herzl semula sempat ragu bahwa kongres ini akan tuntas dengan baik. Untuk memberi kesan bahwa pertemuan ini dihadiri bukan oleh orang-orang “gembel” saja, ia meminta semua delegasi yang akan memasuki ruang sidang untuk mengenakan setelan resmi, yakni jas panjang dan dasi putih. Ketika Nordau sebagai ketua pengarah sidang muncul di arena kongres hanya dengan mengenakan jaket biasa, Herzl memaksanya balik ke hotel dan mengganti bajunya dengan pakaian resmi itu. Nordau berhasil dirayu Herzl agar ganti pakaian dan dia kemudian dipeluk pendiri Zionis itu dengan hangat.
Konon, para peserta banyak yang mencucurkan air mata. Mereka merasa terharu karena untuk pertama kalinya orang-orang Yahudi yang terserak-serak di berbagai negara dan berbeda bahasa bisa berkumpul dengan tujuan yang sama: memperjuangkan berdirinya negara Yahudi di tanah milik Palestina.
Kongres yang berlangsung selama tiga hari itu memutuskan empat pokok program kerja. Hal yang terpenting ialah kesepakatan bahwa zionisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan mendirikan “permukiman” bagi bangsa Yahudi di Palestina melalui jalan hukum. Untuk itu, hadirin forum merumuskan empat tujuan pokok yakni sebagai berikut.
Pertama, memajukan tanah Palestina dengan hasil-hasil karya petani, seniman, dan pedagang Yahudi. Kedua, mempersatukan dan mengorganisasi seluruh orang Yahudi agar mereka mau pindah ke Palestina dengan berbagai cara yang tepat, sesuai dengan kondisi lokal dan aturan umum yang berlaku di masing-masing negara asal mereka. Ketiga, memperkuat rasa kebangsaan dan kesadaran nasional Yahudi. Keempat, mempersiapkan berbagai tindakan dalam upaya mendapatkan izin pemerintah, khususnya Turki Utsmaniyah, yang diperlukan bagi tercapainya tujuan zionisme.
Upaya melobi
Sejak sukses menggelar kongres WZO di Basel, Herzl semakin rajin melobi tokoh-tokoh penting di Eropa dan juga memanfaatkan jaringan pertemanannya di dunia jurnalis. Berbagai figur berpengaruh didekatinya, baik yang berdarah Yahudi maupun non-Yahudi.
Menurut Roger Garaudy dalam buku Les Mythes Foundateurs de la Politique Israelienne (edisi bahasa Indonesia berjudul Kasus Israel: Studi tentang Zionisme Politik, 1992), Herzl sempat menunjukkan Der Judenstaat kepada Baron Edmond de Rothschild. Awalnya, bankir raksasa yang berdarah Yahudi ini menolak gagasan si pendiri WZO karena dinilainya terlalu berisiko.
Tak menyerah, Herzl lalu menunjukkan proposalnya kepada seorang bankir Prancis keturunan Yahudi, Maurice de Hirsch. Di satu sisi, de Hirsch setuju dengan perlunya tanah air bagi kaum Yahudi abad ke-20 M. Namun, di sisi lain, ia menyarankan Herzl agar lokasinya bukan Palestina, melainkan Argentina.
Untuk diketahui, de Hirsch merupakan pendiri Asosiasi Kolonisasi Yahudi, sebuah lembaga yang telah sukses mendatangkan puluhan hingga ratusan ribu orang Yahudi ke Argentina. Pada awal abad ke-20 M, asosiasi ini memiliki lahan seluas lebih dari 600 ribu hektare di negeri Amerika Selatan tersebut. Bagaimanapun, Herzl tidak setuju dengan saran de Hirsch dan tetap bersikeras menyasar Palestina.
Rekan-rekannya di WZO lalu melobi pemerintah Inggris Raya. Kerajaan itu secara sembunyi- sembunyi menyarankan kepada organisasi zionisme ini agar memilih Afrika timur, alih-alih Palestina, sebagai lokasi negara Yahudi di masa depan. Antara tahun 1894 dan 1962, Uganda yang terletak di Afrika timur memang termasuk jajahan Britania Raya. Namun, WZO tetap menghendaki Palestina, bukan yang lain.
Garaudy menjelaskan, sikap keras kepala itu mencuat karena pihak WZO sejak awal ingin mencitrakan ideologi mereka—zionisme politik—sebagai jawaban kerinduan orang-orang Yahudi akan “tanah yang dijanjikan Tuhan.” Padahal, tegas Garaudy, Herzl dan kolega-koleganya termasuk golongan sekuler, bukan pemeluk Yahudi yang taat. Bahkan, Herzl dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan tidak percaya akan hal-hal yang umumnya diimani orang Yahudi, semisal datangnya hari kiamat.
Lobi Herzl tidak hanya tertuju pada kekuatan Barat, melainkan juga Kekhalifahan Turki Utsmaniyah sebagai pemegang kendali atas Palestina saat itu. Istanbul sedang dipimpin sultan Abdul Hamid II (wafat 1918). Penguasa Muslim tersebut masyhur sebagai sosok yang tegas dan berwibawa.
Usaha-usaha Herzl dan komplotannya untuk mendekati sultan Turki Utsmaniyah sudah gencar dilakukan beberapa tahun menjelang kongres pertama WZO. Mulanya, pada 1892 sekelompok Yahudi Rusia (Ashkenazim) mengajukan permohonan kepada sultan Abdul Hamid II untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina—yang saat itu secara administratif masuk ke dalam wilayah Provinsi Syam (Vilayet Syam). Permohonan itu dijawab dengan tegas oleh sang sultan, mereka tidak diperkenankan menetap di Baitul Makdis dan sekitarnya. Respons demikian amat mengecewakan orang-orang Yahudi Ashkenazim.
Apakah hal itu mengindikasikan sikap anti-Yahudi? Untuk menjawab pertanyaan semisal ini, perlu diketahui terlebih dahulu cabang-cabang di dalam suku bangsa Yahudi modern. Setidaknya, ada dua percabangan yang patut dibahas dalam konteks Palestina, yakni Yahudi Ashkenazim dan Yahudi Sefardim.
Ashkenazim merujuk pada nama ashkenaz, sebuah daerah di Eropa timur (sekitar Ukraina kini) yang selama ratusan tahun dikendalikan Kekaisaran Rusia. Orang-orang Yahudi Ashkenazim umumnya berbahasa Yiddish, yang adalah cabang dari bahasa Jerman, bukan Ibrani. Hampir semua tokoh WZO, termasuk Herzl, adalah orang-orang Yahudi Ashkenazim.
Adapun Yahudi Sefardim, sesuai namanya, berasal dari Sefard, yakni sebutan bahasa Ibrani untuk Andalusia (Spanyol). Mereka inilah yang ditolong oleh Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dari persekusi kaum ekstremis Katolik sewaktu Reconquista yang terjadi pada akhir abad ke-15 silam. Saat Andalusia jatuh ke tangan kerajaan Kristen, bukan hanya kaum Muslimin yang menjadi target kekerasan, melainkan juga Yahudi setempat.
Jadi, sebelum datangnya zionisme, di bumi Palestina pada era Kekhalifahan Turki Utsmaniyah sudah ada orang-orang Yahudi Sefardim. Mereka dan anak keturunannya menetap di Baitul Makdis dan sekitarnya atas budi baik sultan. Mereka pun dapat berinteraksi dalam damai dan sewajarnya dengan orang-orang Islam maupun Nasrani setempat selama ratusan tahun.
Sekadar informasi, Yahudi Ashkenazim kini merupakan komposisi mayoritas di Israel. Dan, berbagai penelitian meragukan akar nenek moyang mereka di Asia barat. Dengan perkataan lain, wajar bila ada yang menyangsikan bahwa mereka merupakan keturunan Nabi Yakub bin Ishaq bin Ibrahim AS.
Misal, penelitian yang dilakukan Eran Elhaik, seorang ahli genetika dari Universitas Johns Hopkins School of Public Health, Amerika Serikat. Hasil riset itu dipublikasikan di Jurnal Genome Biology and Evolution edisi 17 Januari 2013 dengan judul “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypothese.”
Ketegasan sang sultan
Pada 1896, Theodor Herzl memberanikan diri untuk menemui sultan Abdul Hamid II. Dalam kesempatan itu, ia memohon izin kepada sang pemimpin Turki Utsmaniyah agar pihaknya bisa mendirikan gedung di Baitul Makdis. Permohonan itu dijawab Sultan dengan penolakan tegas.
Sesudah WZO berdiri, lagi-lagi Herzl memohon izin bertemu dengan Abdul Hamid II pada 1902. Kali ini, orang zionis tersebut menyodorkan sejumlah tawaran. Di antaranya, janji bahwa pihaknya akan memberikan 150 juta poundsterling untuk sultan pribadi. Selain itu, semua utang pemerintah Turki Utsmaniyah, yang mencapai 33 juta poundsterling, akan dilunasinya. Namun, bujuk rayuan itu ditolak mentah-mentah oleh sang pemimpin Muslim.
Sesudah itu, Abdul Hamid II menyampaikan kepada wazirnya, Tahsin Basya, untuk jangan lagi menerima perwakilan zionis ke istana. Sang perdana menteri Turki Utsmaniyah juga memberikan pesan sang sultan kepada Herzl dan kawan-kawan. Katanya, “Tanah ini (Baitul Makdis) adalah hak umat Islam. Kaum Muslimin telah berjihad demi kepentingan membebaskannya. Mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Kalian kaum Yahudi (zionis), silakan menyimpan harta kalian di tempat lain.”
“Selama aku masih hidup, aku lebih rela pedang-pedang dihunuskan dan menusuk tubuhku daripada harus melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Kekhalifahan Islam,” tegasnya lagi.
Dr Muhammad Harb dalam buku Memoar Sultan Abdul Hamid II (2012) menuturkan, Herzl dan komplotannya sejak menerima penolakan dua kali itu mulai lebih senyap dalam mewujudkan rencana besar: meruntuhkan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Legitimasi dan wibawa sang sultan di mata rakyat dibuatnya berantakan. Untuk itu, WZO memanfaatkan jaringan akademisi dan jurnalis yang sekuler. Mereka marak menyuarakan jargon-jargon "kemerdekaan", "kebebasan", dan sebagainya, serta menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai rezim yang sewenang-wenang (Hamidian Absolutism).
Kekuasaan sang sultan juga diguncang aktivitas organisasi rahasia, Freemasonry, yang menyusup dalam barisan pemuda revolusioner liberal. Mereka menamakan diri sebagai Gerakan Turki Muda (Young Turks Movement). Salah seorang simpatisannya ialah Kemal Pasha—yang di kemudian hari menjadi “Mustafa Kemal Attaturk”, tokoh utama berdirinya Republik Turki modern.
Pada 1904, Herzl meninggal dunia. Sesudah kematiannya, gerakan zionisme tidak kurang surut. Aksi-aksi senyap WZO di Turki Utsmaniyah mencapai sukses yang sangat signifikan sejak pencopotan sultan pada April 1909. Menurut Mehmed Maksudoglu dalam buku Osmanli History 1289-1922 (1999), di antara para perwakilan Dewan Nasional Turki yang menyerahkan surat pencopotan sang sultan adalah Emmanuel Carasso, seorang Yahudi.
Kemudian, sejak tahun 1908 kekuasaan di Turki praktis berada di tangan sebuah organisasi yang lahir dari rahim Gerakan Turki Muda, yakni Committe and Union Progress (CUP). Walau tak tampak di permukaan, tegas Maksudoglu, hubungan antara petinggi CUP dan para aktivis WZO adalah nyata. Padahal, WZO menjadi salah satu faktor yang turut merontokkan pengaruh Turki di negara-negara mayoritas bangsa Arab, khususnya Palestina.
Lobi Yahudi menemukan momentum penting menjelang usai Perang Dunia I melalui dominasi Inggris Raya. Chaim Azriel Weizmann, seorang ilmuwan Yahudi, berperan penting dalam menunjang industri militer Britania Raya dan kemenangan negara itu dalam Perang Dunia I. Karena itu, pihak Negeri Albion merasa berutang budi kepadanya serta lobi Yahudi pada umumnya.
Suatu hari, Weizmann menyampaikan keinginan WZO yakni bahwa Palestina menjadi negara Yahudi. Ini merupakan dilema bagi London karena pada saat itu Palestina merupakan bagian dari Kerajaan Hejaz, salah satu sekutu Inggris Raya di Semenanjung Arab. Dalam Perang Dunia I, Hejaz mendukung Negeri Albion sehingga melemahkan dominasi Kesultanan Utsmaniyah di Asia Barat.
Setelah melalui pertimbangan, akhirnya pada 2 November 1917 menteri luar negeri Inggris Raya Arthur Balfour menulis surat kepada tokoh penting lobi Yahudi, Lord Rothschild. Isinya menegaskan dukungan Inggris Raya terhadap pendirian suatu negara Yahudi di Palestina.
Beberapa bulan sesudah itu, tepatnya pada 10 Februari 1918, Abdul Hamid II meninggal dunia di Istanbul. Saat menghembuskan nafas terakhir, ia sedang menjalani masa tiga tahun sebagai seorang tahanan politik. Sejak wafatnya, jalan bagi WZO untuk mewujudkan negara Yahudi di Palestina pun kian tak terbendung.
Bila dahulu Herzl berharap pada keberhasilan strateginya merayu sultan Turki, kini para penerusnya di WZO melakukan hal yang sama, tetapi pada Britania Raya. Berkat campur tangan Inggris atas dunia Arab pasca-Perang Dunia I, tanah Palestina semakin mudah dicaplok organisasi zionis internasional tersebut.
Pada 9 Desember 1917, militer Inggris memasuki wilayah Baitul Makdis atau Yerusalem. Hingga tahun 1920, WZO semakin gencar mensponsori kedatangan orang-orang Yahudi dari Eropa ke Palestina—sebuah program yang terkenal dengan sebutan Aliyah.
Sejak April 1920, Inggris Raya menetapkan Palestina sebagai sebuah protektorat yang dikendalikan London. Pihak Arab, yang selama PD I menjadi sekutu Inggris, memandang keputusan itu dengan curiga; bahwa London pada akhirnya lebih berpihak pada Yahudi dan meninggalkan Arab-Palestina.
Ketegangan semakin di depan mata. Kerusuhan di Jaffa pecah pada April 1920. Konflik ini dilatari perasaan tidak puas bangsa Arab terhadap dominasi Inggris dan, terutama, pemukiman Yahudi. Pada Mei 1921, Haganah dibentuk oleh sejumlah pemimpin Yahudi atas restu WZO. Kelak, organisasi semi-militer ini menjadi cikal bakal angkatan militer Israel.
Pada 22 Mei 1945, Liga Arab terbentuk di Kairo, Mesir, untuk menegaskan kekuatan bangsa Arab terhadap zionisme. Dan, hari yang dinanti-nantikan WZO pun tiba. Pada 14 Mei 1948, para pemuka zionis mendeklarasikan berdirinya Israel sebagai “tanah air Yahudi” yang berlokasi di Palestina.
Sehari setelah deklarasi Israel itu, banyak negara Arab yang angkat senjata. Kemelut politik dan militer terus berlangsung hingga pecah Perang Enam Hari pada Juni 1967. Meskipun negara-negara Arab telah bersekutu, pada akhirnya kemenangan berpihak pada Israel. Dan, sampai hari ini, penjajahan atas Tanah Palestina masih terjadi—entah sampai kapan.